Mengarang adalah sesuatu hal yang unik, karena kita dipaksakan
kreatif, dengan mengarang kita bisa membangun imajinasi kita, Berikut
cara Mengarang yang baik dan Benar dan cara Membuat karangan menjadi
panjang dan Benar
a. Bahasa Indonesia yang baik dan Benar
Mari mulai dari yang bisa diukur: bahasa. Naskah yang baik memakai
bahasa yang baik (tidak harus benar). Artinya kalimat-kalimatnya runut
dan enak dibaca, “bersih”.
Tentu saja ejaan berperan besar. Dan klmt-klmt itu gk dsngkt-sngkat.
Emangnya lagi nulis SMS? Ini kelemahan besar para remaja yang lagi
dilanda demam wanna-be-writers. Lame excuse: kan ada editor. Hei, dengar
ya, kerjaan editor itu more than just mbenerin ejaan, meskipun mbenerin
memang ejaan itu part of our job. Kalau terlalu parah, tentu saja
naskah akan ditolak mentah-mentah.
Next, kalimat. Banyak pengarang yang membuat kalimat berpanjang-panjang,
membuat capek yang membaca. Hindari ini. Contoh sederhana: “Dia memukul
adiknya tidak keras.” Kalimat ini tidak salah, tapi tidak efektif. Jauh
lebih menyenangkan membaca: “Dia memukul pelan adiknya.”
Hindari juga tuturan yang terlalu “terjemahan”. Hari gini dengan serbuan
berbagai bahasa asing lain (gak cuma Inggris), jadinya kalimat yang
kita pakai sering kali bukan kalimat bahasa Indonesia.
b. Ide Cerita
Semua ide itu basi, yang baru adalah cara penyampaiannya. Yap, sialnya
kita tidak hidup di abad ke-12, hari gini hampir segala hal udah
ditemukan, semua cerita udah pernah dituturkan. Tapi gimana cara
menuturkannya?
Balik lagi ke cerita cowok-cewek saling benci tapi akhirnya saling
cinta, yang diungkit Siska di posting sebelum ini. Ya ampun, cerita itu
udah seribu dua ratus ribu juta kali diceritain sepanjang sejarah. Atau
cerita cowok-cewek saling cinta tapi ditentang keluarga. Mmm… inget
Romeo dan Juliet? Tapi cerita-cerita begini bukannya gak bisa
diceritakan ulang, bikin dong tokoh sempalan. Misalnya buat si Juliet
punya oom yang membela dia, atau bikin si Romeo bingung karena ada Julia
selain Juliet. Atau… atau… ada seribu atau lagi.
Atau kalau saklek mesti cerita Romeo-Juliet ditentang keluarga, bikin
dong keluarganya funky, atau masokis. Atau… atau… dan sejuta atau lain.
Be creative, gunakan sel abu-abu otakmu itu! Inti cerita boleh sama,
polesannya harus beda.
Satu contoh TeenLit lama tapi baru yang bagus adalah TeenLit
terjemahan:Sang Putri dan si Miskin/The Princess & the Pauper, karya
Kate Brian. Dari judulnya saja ceritanya bisa ditebak, tapi apakah
ceritanya jadi membosankan? Sebaliknya, ini salah satu TeenLit paling
seru yang pernah gue baca.
Satu hal lagi tentang ide dan kreativitas ini: awal cerita. Masih inget
gak waktu kita SD dulu disuruh mengarang? Mayoritas karangan akan
diawali dengan “Pada suatu hari aku… (dst).” Karangan gue waktu SD
dinilai bagus karena gue menghindari pakem “Pada suatu hari…” ini.
Rupanya pakem ini sekarang bergeser ke “Kring… kriing… Beker berbunyi
keras. Aku membuka mata. Oh, tidak! Sudah jam tujuh! Ibu, kenapa Ibu
tidak membangunkanku?” Yap, dari 30-an naskah yang kami, para editor,
baca tiap bulannya ada paling tidak 20 yang diawali dengan pakem itu.
Walhasil, langsung saja ke-20 naskah “Kring-kring” itu kami buang. So,
awalilah novel dengan sesuatu yang bombastis dan menarik. Ledakan bom,
mungkin? Adegan putus? Adegan ciuman? Hehehe…
c. Penulisan
Mulai main feeling, artinya ini benar-benar pendapat gue pribadi dan
agak susah dijelaskan secara faktual. Bagi gue, novel yang bagus adalah
novel yang “bulat”. Ini istilah gue, dan gue bisa merasakan novel yang
bulat dari beberapa bab awal yang gue baca. Bukan karena gue sakti ya,
tapi kalo gue coba pikir, karena:·
- Tokoh-tokoh novelnya kuat membuat kita “kenal” mereka. Gimana sih
tokoh yang “kuat” itu? Tokoh itu gambaran fisik dan karakternya jelas.
Misalnya tokoh Raya dalam Rival, yang langsung kita tangkap sebagai
cowok yang lumayan tangguh, tapi ada segi lembutnya juga. Atau tokoh Ira
dalamBeauty and the Best yang model. Mudah sekali menangkap seperti apa
sih tokoh-tokoh ini.
- Jalinan cerita (alur)-nya kuat, membuat kita ingin tahu apa yang akan terjadi selanjutnya
Beberapa naskah yang “bulat” dan sekali lirik langsung gue terima
adalahRival/Amalia, Beauty and the Best/Luna Torashyngu, dan Dokter,
Pelukis, dan si Cowok Plin-Plan/Ken Terate. Ini novel-novel awesome dan
gue bangga terlibat dalam “kelahiran” mereka.
Dari pengalaman gue sendiri dan tanya-tanya orang lain, novel-novel
begini lahir setelah perencanaan matang. Alur cerita dipikirkan
betul-betul, baru dituangkan. Kadang ada unsur “magis”-nya seperti
“Cerita itu datang secara utuh ke diri gue”. Yap, gak bisa diterangkan
dengan logis… hehehe… Tapi gue rasa dengan banyak latihan, unsur magis
itu bisa dikikis. Selain itu persistensi, keukeuh mau menulis sampai
selesai, “kebulatan” novel itu bisa dicapai juga.
d. Persiapan dalam mengarang
Anyway, menurut gue, sebenarnya novel yang “bulat” itu juga dilahirkan dari:
Riset
- mengenai topik karangan
Seberapa jauh si pengarang mengenal topik karangannya? Apakah ada unsur
kisah hidupnya dalam karangan itu? Kalau ada–misalnya Esti Kinasih yang
mengambil gambaran masa SMA-nya dalam novel-novelnya–tentu lebih mudah
untuk memberi gambaran yang hidup. Tapi kalau tidak? Cari tahu sebanyak
mungkin, baik dari referensi bacaan maupun dari wawancara dengan orang
yang tahu. Clara Ng melakukan wawancara ini untuk memberi gambaran yang
hidup akan kawasan Glodok, Jakarta bagi novel Dimsum Terakhir.
- di luar topik karangan
Seberapa banyak buku yang sudah si pengarang baca? Bacalah sebanyak
mungkin bahan, mau itu buku novel, nonfiksi, self-help, majalah, koran,
bahkan koran sekelas Lampu Merah sekalipun. Bacaan yang kaya, meski
tidak langsung menyinggung topik karangan, akan memberi warna pada
karangan. Dan akan “memberitahu” pembaca seberapa deep si pengarang.
Gaya menulis akan terpengaruh, dan pengarang akan tampil cerdas–ya
karena dia memang cerdas dengan kekayaan bacaannya.
Guide book tentang mengarang
Oke, mengarang katanya gampang. BOHONG! Memang mengarang tidak segampang
itu. Bahkan setelah kamu menghasilkan 100 halaman ketik di komputer,
membuat karangan yang bagus tetap tidak gampang. Tapi seperti segala hal
di zaman ini, ada berbagai guide book soal mengarang fiksi. Beberapa
yang bisa dibaca adalah On Writing/Stephen King, Letters to Young
Novelist/Mario Vargas Llosa, (lupa)/Ismail Marahimin à buku ini jadi
pegangan kuliah Penulisan Populer di UI, covernya abu-abu dan bisa
dibeli di toko buku kok. Dan meski tidak teknis tentang novel, tapi bisa
memperkaya hidup: Letters to a Young Poet/Rainier Maria Rilke.
Coret-coretan
Saat search tentang Phillip Pullman, salah satu yang menarik bagi gue
adalah betapa dia merasa Post-It penemuan modern yang sangat penting.
Kenapa? Karena dia menggunakan Post-It untuk menulis alur serta adegan
novelnya, lalu memindah-mindah Post-It tersebut sampai membentuk cerita
yang sesuai yang keinginannya. Cara ini bisa disontek, atau ya paling
gampang, temukan cara kamu sendiri. Mungkin dengan cut-paste di
komputer? Mungkin dengan kertas buram? Biarpun bukan membuat alur yang
saklek seperti diajarkan dalam pelajaran bahasa, tapi pengarang harus
membuat coret-coretan.
Jadi, begitulah catatan gue yang tidak sempurna. Ini pengamatan dan pemikiran gue pribadi, dan… moga-moga berguna!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar