JAKARTA, KOMPAS.com — Kedua orangtua Aisyah Nur
Kumalasari (17), siswi kelas 12 IPA 1 SMPN 40 Pademangan, Jakarta Utara,
tentu bangga dan berbesar hati menerima kenyataan bahwa anaknya
diterima tanpa tes di salah satu universitas paling bergengsi di negeri
ini, Universitas Indonesia. Namun, bagaimana dengan Aisyah sendiri?
"Alhamdulillah,
saya sangat bersyukur, meskipun kondisi ekonomi orangtua tidak mampu,
akhirnya saya diterima di UI tanpa harus melalui tes. Memang sudah
cita-cita saya untuk membahagikan orangtua,” kata anak sulung dari
pasangan Bogi Saptono (46) dan Paryanti (40) saat dijumpai di SMAN 40
Pademangan, Jalan Budi Kemuliaan, Pademangan, Rabu (31/3/2010).
Gadis
belia yang akrab dipanggil Iis itu menuturkan, keseharian, ayahnya
hanya seorang tukang ojek di wilayah Pademangan. Penghasilan ayahnya
tidak lebih dari Rp 70.000 per hari.
Penghasilan itu hanya pas
untuk biaya hidup sehari-hari, apalagi Paryanti, istri Bogi, hanya
sebagai ibu rumah tangga biasa yang juga mengasuh seorang adik Aisyah
bernama Jayanti Anisa Hapsari (5).
“Ya, mau gimana lagi,
semua serba pas-pasan. Ayah orangnya tidak pernah mengeluh dengan
situasi ekonomi, begitu juga ibu. Bahkan, ayah selalu menyemangati saya
untuk terus belajar karena, dengan memiliki ilmu, jalan untuk sukses
selalu ada,” kata gadis berparas cantik yang dikenal selalu ranking satu
di kelasnya itu.
Berdasarkan rekam jejak di sekolahnya, sejak kelas satu, nilai rata-rata di rapornya adalah 8.
Yang
membuatnya sedih adalah, kini penghasilan ayahnya dari mengojek menurun
tajam karena ada proyek pemagaran jalan tembus menuju rel kereta api
daerah Tanjung Priok. Kini penghasilan ayahnya itu tidak lebih dari Rp
50.000 per hari.
“Bapak bekerja pontang-panting demi keluarga.
Saya tak ingin membuat bapak bersedih,” ujar gadis yang orangtuanya
berasal dari Madiun dan Wonogiri ini. Oleh karenanya, dia bertekad untuk
mewujudkan apa yang menjadi harapan orangtuanya.
Dalam
kesehariannya, Aisyah tinggal di sebuah rumah yang sangat sederhana.
Bahkan boleh dibilang, tempat tinggalnya di Pademangan Timur VIII/5, RT
014/ RW 010, yang didiami sejak kecil itu tidak layak huni. Bangunannya
hanya berdindingkan tripleks dengan ukuran 2,5 x 8 meter dan berlantai
semen.
Jika hujan, maka halaman rumahnya selalu digenangi air. Bahkan, jika ada kereta api lewat, maka dinding rumah selalu bergetar.
“Saya hanya berdoa, ya Allah, jangan sampai rumah ini rubuh,” kata Aisyah tersedu.
Maklum saja, jarak rumahnya dengan rel kereta api hanya 2,5 meter. (Bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar