Jumat, 06 April 2012

Kisah Anak Tukang Ojek Masuk UI Tanpa Tes (2)

JAKARTA, KOMPAS.com — Kedua orangtua Aisyah Nur Kumalasari (17), siswi kelas 12 IPA 1 SMPN 40 Pademangan, Jakarta Utara, tentu bangga dan berbesar hati menerima kenyataan bahwa anaknya diterima tanpa tes di salah satu universitas paling bergengsi di negeri ini, Universitas Indonesia. Namun, bagaimana dengan Aisyah sendiri?

"Alhamdulillah, saya sangat bersyukur, meskipun kondisi ekonomi orangtua tidak mampu, akhirnya saya diterima di UI tanpa harus melalui tes. Memang sudah cita-cita saya untuk membahagikan orangtua,” kata anak sulung dari pasangan Bogi Saptono (46) dan Paryanti (40) saat dijumpai di SMAN 40 Pademangan, Jalan Budi Kemuliaan, Pademangan, Rabu (31/3/2010).

Gadis belia yang akrab dipanggil Iis itu menuturkan, keseharian, ayahnya hanya seorang tukang ojek di wilayah Pademangan. Penghasilan ayahnya tidak lebih dari Rp 70.000 per hari.

Penghasilan itu hanya pas untuk biaya hidup sehari-hari, apalagi Paryanti, istri Bogi, hanya sebagai ibu rumah tangga biasa yang juga mengasuh seorang adik Aisyah bernama Jayanti Anisa Hapsari (5).

“Ya, mau gimana lagi, semua serba pas-pasan. Ayah orangnya tidak pernah mengeluh dengan situasi ekonomi, begitu juga ibu. Bahkan, ayah selalu menyemangati saya untuk terus belajar karena, dengan memiliki ilmu, jalan untuk sukses selalu ada,” kata gadis berparas cantik yang dikenal selalu ranking satu di kelasnya itu.

Berdasarkan rekam jejak di sekolahnya, sejak kelas satu, nilai rata-rata di rapornya adalah 8.

Yang membuatnya sedih adalah, kini penghasilan ayahnya dari mengojek menurun tajam karena ada proyek pemagaran jalan tembus menuju rel kereta api daerah Tanjung Priok. Kini penghasilan ayahnya itu tidak lebih dari Rp 50.000 per hari.

“Bapak bekerja pontang-panting demi keluarga. Saya tak ingin membuat bapak bersedih,” ujar gadis yang orangtuanya berasal dari Madiun dan Wonogiri ini. Oleh karenanya, dia bertekad untuk mewujudkan apa yang menjadi harapan orangtuanya.

Dalam kesehariannya, Aisyah tinggal di sebuah rumah yang sangat sederhana. Bahkan boleh dibilang, tempat tinggalnya di Pademangan Timur VIII/5, RT 014/ RW 010, yang didiami sejak kecil itu tidak layak huni. Bangunannya hanya berdindingkan tripleks dengan ukuran 2,5 x 8 meter dan berlantai semen.

Jika hujan, maka halaman rumahnya selalu digenangi air. Bahkan, jika ada kereta api lewat, maka dinding rumah selalu bergetar.

“Saya hanya berdoa, ya Allah, jangan sampai rumah ini rubuh,” kata Aisyah tersedu.

Maklum saja, jarak rumahnya dengan rel kereta api hanya 2,5 meter. (Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar