Seorang calon siswa SMA rintisan sekolah bertaraf internasional
berinisial NR harus gigit jari. Nilai rata-rata 8,7 ternyata tak bisa
menjadi modal bagi siswa yang berasal dari SMP Negeri 1 Pinrang,
Sulawesi Selatan, itu untuk masuk ke sekolah impiannya, SMA Negeri 1
Pinrang. Meskipun, ada nilai standar yang dipatok. Sementara itu,
seorang calon siswa, ZM, justru lolos masuk ke SMA tersebut meski nilai
rata-rata yang dikantonginya 7, di bawah nilai rata-rata NR.
"Nilai tinggi tidak menjamin siswa bisa masuk sekolah RSBI (rintisan sekolah bertaraf internasional) karena ada tes tulis yang harus mereka lalui sebelum dinyatakan lolos," kata staf Bagian Humas SMAN 1 Pinrang, Abdul Wahid Nara, kepada Kompas.com, Rabu (15/6/2011).
Asal sekolah siswa pun, menurut Abdul, turut menjadi patokan bagi mereka untuk menerima calon siswa. Untuk siswa yang berasal dari SMP RSBI, pemotongan nilai yang dipersyaratkan berbeda dengan sekolah yang non-RSBI.
"Meski nilainya rendah, kalau siswa tersebut tidak dari sekolah biasa, ada kemungkinan mereka lulus karena standar nilai di sekolahnya memang rendah. Berbeda dengan siswa yang berasal dari sekolah RSBI, standar nilainya tentu harus tinggi," tutur Abdul.
Menurut Abdul, setidaknya ada sekitar 60 anak yang memiliki nilai rata-rata 8 gagal menembus penerimaan gelombang pertama di SMAN 1 Pinrang. Namun, ujar Wahid lagi, pihaknya masih membuka peluang bagi calon siswa baru lainnya pada gelombang kedua yang tidak lagi menggunakan sistem tes tulis, tetapi dengan melihat rata-rata nilai akhir siswa.
"Di gelombang pertama memang kami terapkan sistem tes tulis. Kami menerima 100 siswa. Di gelombang kedua nanti rata-rata nilai akhir baru dijadikan patokan," katanya.
Pengamat Pendidikan di Pinrang, Darmin Azis, mengatakan, jika nilai rata-rata akhir ternyata tidak menjadi acuan RSBI dalam menerima siswa baru, sebaiknya syarat standar nilai pemerimaan saat pengumuman dihapuskan saja. Itu karena, menurutnya, sistem penerimaan siswa baru yang diterapkan SMAN 1 Pinrang hanya melukai siswa yang memiliki standar nilai tinggi.
"Kalau begitu, untuk apa anak-anak mengejar nilai tinggi kalau ternyata dipatahkan dengan sistem yang tidak konsisten. Nilai akhir yang didapatkan para siswa adalah usaha mereka selama tiga tahun. Apalagi anak yang tidak lolos di gelombang pertama itu berasal dari RSBI, dengan nilai tinggi pula," katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar